Persekutuan Franka-Mongol

Surat tahun 1305 (gulungan berukuran 302 x 50 sentimeter (9,91 x 1,64 kaki)) dari Ilkhan Mongol Öljaitü kepada Raja Philippe IV dari Prancis yang mengusulkan kerja sama militer.

Upaya untuk menjalin persekutuan Franka-Mongol melawan kekhalifahan Islam (yang merupakan musuh bersama mereka) telah dilancarkan oleh pemimpin-pemimpin Tentara Salib Franka dan Kekaisaran Mongol pada tahun 1200-an. Persekutuan semacam itu tampak sebagai pilihan yang masuk akal: Mongol cenderung bersimpati kepada Kekristenan karena keberadaan orang-orang Kristen Nestorian di istana Mongol. Bangsa Franka (bangsa Eropa Barat dan mereka yang berada di negara-negara Tentara Salib di Syam)[note 1] juga terbuka terhadap gagasan untuk memperoleh bantuan dari Timur, yang salah satunya disebabkan oleh legenda Presbiter Yohanes, raja Timur yang diyakini akan datang untuk membantu Tentara Salib di Tanah Suci.[1][2] Muslim juga merupakan musuh bersama Franka dan Mongol. Namun, walaupun telah bertukar pesan, hadiah, dan duta selama beberapa dasawarsa, persekutuan ini tidak pernah terwujud.[3][4]

Kontak antara bangsa Eropa dengan Mongol dimulai sekitar tahun 1220 dengan dikirimnya pesan dari paus dan raja-raja Eropa kepada para pemimpin Mongol seperti pemegang gelar Khan Agung dan kemudian penguasa Ilkhanat di Persia yang telah ditaklukkan oleh Mongol. Komunikasi cenderung mengikuti pola berulang: bangsa Eropa meminta agar bangsa Mongol masuk Gereja Barat, sementara bangsa Mongol menanggapinya dengan meminta pernyataan tunduk dan upeti. Bangsa Mongol telah menaklukkan banyak negara Kristen dan Muslim dalam sepak terjangnya di seluruh Asia, dan setelah menghancurkan Kekhalifahan Abbasiyah dan Kesultanan Ayyubiyah, bangsa Mongol selama beberapa generasi berikutnya melawan satu-satunya kekuatan Islam yang masih tersisa di wilayah tersebut, yaitu Kesultanan Mamluk di Mesir. Hethum I, raja negara Tentara Salib Armenia Kilikia, telah tunduk kepada bangsa Mongol pada tahun 1247, dan mengajak raja-raja lain untuk mengadakan persekutuan Kristen-Mongol, tetapi ia hanya mampu meyakinkan menantunya, Pangeran Bohemond VI dari negara Tentara Salib Antiokhia, yang kemudian menurut pada tahun 1260. Pemimpin-pemimpin Kristen lain seperti Tentara Salib di Akko tidak memercayai bangsa Mongol, dan menganggap mereka sebagai ancaman terbesar di wilayah tersebut. Maka Baron Akko terlibat dalam persekutuan pasif yang tidak biasa dengan Mamluk dengan membiarkan mereka melewati wilayah Tentara Salib agar dapat melawan dan mengalahkan pasukan Mongol dalam Pertempuran Ain Jalut pada tahun 1260.[5]

Sikap bangsa Eropa terhadap bangsa Mongol mulai berubah pada pertengahan dasawarsa 1260-an dari yang tadinya menganggap bangsa Mongol sebagai musuh yang patut ditakuti menjadi sekutu potensial dalam melawan kubu Muslim. Pasukan Mongol mencoba memanfaatkan hal ini dan menjanjikan akan menaklukkan kembali Yerusalem untuk bangsa Eropa dengan kerja sama sebagai gantinya. Upaya untuk mengadakan persekutuan berlanjut dengan dilakukannya negosiasi dengan pemimpin-pemimpin Ilkhanat di Persia, dari pendirinya Hulagu hingga penerusnya Abaqa, Arghun, Ghazan, dan Öljaitü, tetapi tidak ada yang berhasil. Pasukan Mongol menginvasi Syam beberapa kali antara tahun 1281 hingga 1312, kadang-kadang bersama dengan bangsa Franka, tetapi kesulitan logistik yang cukup besar membuat tentara masing-masing terpisah selama beberapa bulan, sehingga tidak dapat mengoordinasikan serangan secara efektif.[6] Kekaisaran Mongol akhirnya bubar akibat perang saudara, dan Mamluk berhasil merebut kembali seluruh Palestina dan Syam dari Tentara Salib. Setelah kejatuhan Akko pada tahun 1291, Tentara Salib yang tersisa mundur ke Pulau Siprus. Mereka mencoba mendirikan pangkalan di pulau kecil Ruad di pesisir Tortosa dengan tujuan untuk mengoordinasikan aksi militer bersama pasukan Mongol, tetapi rencana tersebut gagal, dan kubu Muslim menanggapinya dengan mengepung pulau tersebut. Dengan kejatuhan Ruad pada tahun 1302 atau 1303, Tentara Salib telah kehilangan pijakan terakhirnya di Tanah Suci.[7]

Para sejarawan modern kini memperdebatkan apakah persekutuan antara Franka dan Mongol dapat mengubah keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut, dan apakah hal tersebut merupakan pilihan yang tepat bagi bangsa Eropa.[8] Secara tradisional, bangsa Mongol cenderung melihat orang luar sebagai bawahan atau musuh, dan memiliki sedikit ruang untuk konsep seperti persekutuan.[9][10][11]


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "note", tapi tidak ditemukan tag <references group="note"/> yang berkaitan

  1. ^ Atwood 2004, hlm. 583: "The failure of Ilkhanid-Western negotiations, and the reasons for it, are of particular importance in view of the widespread belief in the past that they might well have succeeded.".
  2. ^ Jackson 2005, hlm. 4.
  3. ^ Atwood 2004, hlm. 583: "Despite numerous envoys and the obvious logic of an alliance against mutual enemies, the papacy and the Crusaders never achieved the often-proposed alliance against Islam".
  4. ^ Ryan 1998, hlm. 411–421.
  5. ^ Morgan 1989, hlm. 204: "The authorities of the crusader states, with the exception of Antioch, opted for a neutrality favourable to the Mamluks."
  6. ^ Edbury 1991, hlm. 105.
  7. ^ Demurger 2005, hlm. 95-110.
  8. ^ Abate & Marx 2002, hlm. 182-186: "Would a Latin-Ilkhan Mongol alliance have strengthened and preserved the Crusader States?'"
  9. ^ Jackson 2005, hlm. 46.
  10. ^ Jackson 2005, hlm. 181-182: "For the Mongols the mandate came to be valid for the whole world and not just for the nomadic tribes of the steppe. All nations were de jure subject to them, and anyone who opposed them was thereby a rebel (bulgha). In fact, the Turkish word employed for 'peace' was that used also to express subjection ... There could be no peace with the Mongols in the absence of submission."
  11. ^ Jackson 2005, hlm. 121: "[The Mongols] had no allies, only subjects or enemies".

Developed by StudentB